Merayu dan Mendebat
Ada dua pilihan cara jika hendak mempersuasi orang lain. Pertama adalah
Compliance Strategies, dan yang kedua adalah
Argument Strategies. Kedua cara punya pendekatan dan strategi yang berbeda. Strategi mana yang terbaik? Anda harus pahami benar bagaimana situasinya, sebelum memilihnya.
Sekadar gambaran saja, cara pertama membutuhkan keterampilan “membujuk”, “merayu”, dan sejenisnya. Cara pertama ini meliputi:
Sanction Strategies, Appeal Strategies, dan
Command Strategies. Masing-masing juga punya teknik dan pendekatan yang berbeda.
Sementara itu, cara persuasi kedua membutuhkan serangkaian gagasan dan argumentasi yang kuat untuk “menandingi” gagasan dan argumentasi pihak lain. Cara kedua ini meliputi:
Reasoned Argument dan
Emotional Appeal.
Tukang Kompor
Salain strategi atau teknik informatif, penulisan media PR juga bisa menggunakan pendekatan persuasif. Pada strategi informatif, Anda hanya berperan sebagai pemaklumat informasi. Sebaliknya, pada strategi persuasif, Anda berperan sebagai penyampai informasi sekaligus “provokator”.
Betul, Anda memang harus menjadi tukang mempengaruhi, tentu saja dalam pengertian yang baik dan benar. Sebab, seperti hukumnya di kehidupan saban hari, sebagai praktisi PR Anda juga tidak dibenarkan berdusta, tak diijinkan berbohong, tak dipersilakan menjadi orang beridentitas lain di bibir, lain di hati, lain pula di perilaku.
Walhasil, pada teknik persuasif, Anda harus mampu memprovokasi. Anda harus bisa mempengaruhi. Anda harus sanggup merangsang. Anda harus dapat “memaksa” orang untuk mengikuti atau melakukan apapun yang Anda inginkan. Singkat kata Anda harus jadi tukang “kompor”, tukang provokasi.
Bagaimana caranya memprovokasi orang lewat tulisan? Kalau Anda punya pertanyaan sejenis itu, tandanya Anda mulai terpengaruh alias “terkompori”. Sabar…sabar…
Dari Mana Datangnya Isyu
Ibarat cinta, menurut pepatah, bermula dari mata lalu tersimpan dalam hati. Ada awal ada akhir, ada sebab ada akibat. Begitu juga dengan isyu, pasti ada pangkalnya lalu ada ujungnya. Ada apinya, ada asapnya.
Sebagai pelakon utama, organisasi harus ditempatkan sebagai sumber isyu. Para publik adalah sumber reaksi atas isyu. Imej atau citra yang tertanam di benam publik baik positif, netral, atau negatif, misalnya, hakikatnya hanyalah respon atas kondisi yang terjadi di tubuh organisasi.
Maka, jangan salahkan bunda mengandung, jika publik bersifat negatif terhadap organisasi. Yang bijaksana adalah, mengutip Ebiet G. Ade, tengoklah ke dalam sebelum bicara. Atau dalam bahasa lain, melakukan instrospeksi adalah jalan terbaik tiap kali menghadapi isyu.
Sekali lagi isyu bermakna ganda, bisa masalah boleh jadi peluang. Bisa juga sebuah masalah, jika dicermati dengan bijak, akan menjadi peluang, sebuah kesempatan. Inilah yang disebut Eklund (2005) sebagai proses berpikir kreatif, kemampuan melihat dan menentukan sisi positif pada situasi yang negatif. Atau melihat kebaikan pada kondisi terburuk sekalipun.
Dalam praktik persaingan bisnis, kelemahan pihak lain bahkan akan dimanfaatkan untuk menjadi kekuatan pihak lainnya. Kekurangan pihak lain akan dimanfaatkan menjadi kelebihan pihak lainnya. Masalah pihak lain, akan dianggap sebagai peluang atau kesempatan oleh pihak lainnya.
Mencipta Opini Public
Mustahil organisasi terisolasi dengan lingkungannya. Tidak mungkin juga organisasi abai pada masalah yang terjadi di sekitarnya. Harap maklum, hubungan antara organisasi-lingkungan ibarat dua sisi mata uang. Kedua sisi saling mempengaruhi, langsung atau tak langsung, secara simultan.
Fungsi komunikasi publik eksternal yang ketiga,
shaping public opinion on issues, esensinya berkaitan dengan usaha memposisikan organisasi pada masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya. Praktik ini kemudian melahirkan istilah
public affairs.
Menurut Richard Armstrong (1981), pengertian dan fungsi
public relations dan
public affairs sekilas terkesan tumpang tindih. Tapi, katanya,
public affairs lebih fokus pada masalah-masalah yang tersangkut aspek hukum dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi organisasi.
Bagaimana mekanisme atau proses menciptakan opini publik? Pertama, meningkatkan
public awareness terhadap isyu yang sedang berkembang. Pada saat bersamaan, organisasi juga harus melakukan strategi untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan berkenaan dengan isyu dimaksud.
Benar bahwa praktiknya tidak sesederhana itu. Tapi, intinya, dalam kaitan menciptakan opini publik, organisasi sedang berusaha “mengarahkan” dukungan publik dan para pembuat kebijakan.
Jaim Membawa Berkah
Fungsi kedua praktik berkomunikasi dengan publik eksternal adalah
creating a desirable public image for the organization. Mengutip Gerald Goldhaber (1993),
image building adalah proses menciptakan persepsi publik ihwal identitas atau karakter organisasi.
Mengapa organisasi harus beridentitas? Mengapa organisasi mesti berkarakter? Sederhananya, identitas merupakan pembeda organisasi. Karakter adalah penanda kekhasan sebuah organisasi. Lalu, mengapa organisasi harus beda? Argumen sederhana juga, perbedaan merupakan keunikan. Dan, keunikan merupakan kelebihan sekaligus keunggulan.
Soal
image public memang bukan barang baru. Terminologi dan praktik organisasi dalam menciptakan identitasnya itu setidaknya diawali pada pertengahan tahun 1950-an, ketika
Harvard Business Review mempublikasikan artikel yang memdedah pentingnya citra organisasi di mata publik. Artikel itu lalu mendorong banyak organisasi mendefinisi ulang identitasnya masing-masing.
Sampai saat ini, citra perusahaan masih menjadi perhatian besar bagi setiap organisasi. Melalui kegiatan PR, tiap organisasi selalu mengevaluasi karakter dan perilakunya. Tujuannya, tak lain adalah menggiring persepsi publik terhadap organisasi. Tentu saja, gambaran publik tentang organisasi itu harus bersifat positif, bukan sebaliknya.
Rupanya, urusan jaga imej tak cuma dikenal dalam kaitan hubungan antarmanusia. Organisasi juga harus pintar jaim. Cuma, jaim dalam konteks organisasi tidak berkonotasi negatif, sombong, angkuh, dan sebangsanya. Ke-jaim-an organisasi harus mendatangkan manfaat, memberi berkah.
Komunikasi Public Eksternal
Jika publik internal diartikan sebagai anggota organisasi, publik eksternal adalah para pihak di luar organisasi yang tentu saja berkepentingan dengan organisasi dimaksud
Sudah dimaklumi bahwa tiap organisasi punya tujuan. Organisasi bisnis, misalnya, pasti berusaha mendapatkan keuntungan sebesar mungkin. Tapi, kata J.W. Hill (1977), organisasi juga harus memuaskan ekspektasi atau harapan-harapan publik.
Sekadar contoh, publik berharap, setiap organisasi tak melulu berpikir untuk kepentingan organisasinya. Publik berharap organisasi juga peduli dan memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Publik berharap kegiatan organisasi bisa memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Komunikasi publik eksternal, hakikatnya adalah sarana organisasi untuk berkomunikasi dengan publik eksternal. Melalui praktik komunikasi ini, organisasi diharapkan mmapu memahami dan merespon harapan-harapan publik eksternalnya.
Secara garis besar, komunikasi publik eksternal berfungsi untuk: (1) mengiklankan dan mempromosikan produk atau jasa, (2) menciptakan imej publik atau citra organisasi, dan (3) menciptakan opini publik yang relevan dengan kepentingan organisasi.
Komunikasi Internal (Sentuh hatinya belai jiwanya)
Fungsi komunikasi internal yang terakhir adalah
morale and satisfaction. Atau mudahnya, berusaha menyentuh hati dan membelai jiwa anggota organisasi.
Mengutip judul lagu yang dinyanyikan Candil, mantan vokalis
Serieus, anggota organisasi juga, kan, manusia. Maka perlakukan mereka dengan baik. Pujilah mereka ketika melakukan hal-hal terbaik. Bimbing dan koreksilah ketika mereka melakukan hal-hal sebaliknya.
Sebetulnya, keempat fungsi komunikasi internal yang sudah disebutkan terdahulu, secara tidak langsung, juga ada kaitannya dengan moralitas. Cuma, isi pesan fungsi
morale and satisfaction, lebih khusus lagi. Misalnya, jika organisasi Anda sering memilih karyawan terbaik di ujung tahun, organisasi Anda sangat menghargai anggotanya.
Contoh lain? Anda pasti membuat daftarnya lebih panjang. Tapi, jangan lupa, kabarkan informasi macam ini kepada para anggota organisasi lainnya. Bagi yang mendangar atau membacanya, informasi ini menjadi semacam pemicu, semacam alat refleksi.
Bagi yang dikabarkan? Tentu saja menjadi kegemberiaan, menjadi kebanggaan. Menjadi kado yang tak ternilai.
Yang Berubah Yang berkembang
Perubahan, dalam bentuk apapun, sebenarnya tak terelakkan. Perubahan, seringkali, juga diharapkan. Masalahnya, tak semua orang siap berubah.
Mereka kerap menampik, lantaran tak tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan itu. Mereka sering menolak, sebab khawatir diterkam perubahan itu.
Organisasi, apapun kegiatannya, juga berubah. Perubahan itu merupakan salah satu cara untuk beradaptasi dengan lingkungan. Perubahan merupakan salah satu tahap menuju perkembangan dan kematangan. Mungkin, organisasi sudah siap berubah. Tapi, siap jugakah para anggotanya?
Organizational change and development, adalah fungsi keempat komunikasi internal organisasi. Setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam tubuh organisasi harus disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Inti pesannya umumnya adalah memberi pemahaman yang lengkap ihwal perubahan itu dan akibat atau dampak terbesar dari perubahan tersebut.
Informasi harus diberikan seterang mungkin, selama tidak bertentangan dengan kebijakan organisasi. Diharapkan, informasi macam ini bisa mengurangi kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran. Atau, bahasa kerennya, mengurangi tingkat ketidakpastian yang dirasakan oleh para anggota organisasi.
Iklan dan Promosi PR
Iklan itu PR bukan? Promosi itu masuk PR tidak? Jawaban atas pertanyaan itu bisa mengerucut menjadi dua: (1) iklan dan promosi bagian dari kegiatan PR, (2) PR tidak mencakup kegiatan iklan dan promosi. Kedua jawaban sebetulnya bisa dimaklumi, sebab punya alasan sangat jelas.
Tapi, prejour.wordpress.com, cenderung memisahkan kegiatan PR dan iklan/promosi. Praktis belaka, pertimbangannya. Yang hendak diulas dalam blog ini adalah teknik-teknik dasar penulisan PR tools. Bukan merancang dan mengeksekusi materi iklan. Bukan juga merancang dan mengeksekusi kegiatan promosi.
Jadi, kalaupun blog ini menyebut iklan, yang dimaksud adalah tulisan advertorial. Kalaupun blog ini menyebut kata promosi, yang dimaksud adalah sekadar mengulas cara-cara menulis materi brosur dan sejenisnya. Toh, dalam praktiknya, kegiatan PR, iklan, dan promosi memang berjalan sendiri-sendiri.
Mungkin, pemihakan itu tidak sepenuhnya diterima. Tapi, sekali lagi, pertimbangannya demi kepraktisan saja. Soal fungsinya, prejour.wordpress.com tetap sepaham, bahwa kegiatan PR dalam konteks berkomunikasi dengan publik eksternal antara lain adalah membantu “mengiklankan” dan “mempromosikan” produk atau jasa.
Semoga bermanfaat...